KISAH NABI NUH
Setelah berhasil menyesatkan salah seorang keturunan pertama Adam
dan Hawa, iblis kembali menunaikan janjinya yaitu mengerahkan seluruh bala
tentaranya untuk menggoda dan menguji Banu Adam, khalifah dunia yang sangat
dibencinya.
Singkat cerita, tibalah masa di
mana kenabian Nuh bin Lamik bin Mutausyalak bin Akhnuj, yaitu keturunan Adam
berikutnya.
Pada masa ini, iblis berhasil
menyesatkan umat manusia selama lebih dari 950 tahun. Dalam kurun waktu yang
lama ini, rambu-rambu kebenaran yang ditegakkan Adam dan keturunan berikutnya
mulai memudar, keimanan yang lurus mulai menyimpang jauh, dan kesombongan
terlihat jelas dengan penuh kekejian dan kekerasan kepala. Banu Adam sudah
mulai menyimpang dari syariat yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui
nabi-nabi-Nya, Adam, Syits, dan Idris.
Dengan sekuat tenaga, Nabi Nuh
mengajak umatnya untuk kembali ke jalan yang benar, namun hal itu sia-sia
karena umatnya sudah terlanjur masuk ke dalam liang kemaksiatan yang
menyesatkan. Sungguh iblis telah berhasil mencengkeramkan kuku kekafirannya
kepada Banu Adam, ia bangga dan bahagia melakukan itu.
Kaum Nabi Nuh berkata, “Wahai
Nuh, sesungguhnya kamu telah berdebat dengan kami Dan kamu telah memperpanjang
bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami ayat yang kamu ancamkan
kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.”
“Hanya Allah yang akan mendatangkan
azab itu kepadamu jika Dia menghendaki, dan kamu sekali-sekali tidak dapat
melepaskan diri,” jawab Nabi Nuh.
Nabi Nuh melanjutkan, “Nasihatku
tidaklah bermanfaat kepadamu sekiranya Allah Swt. hendak menyesatkan kamu. Dia
adalah Tuhanmu dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan.”
Mendengar ucapan kaumnya itu, Nabi Nuh pun bersedih seolah-olah
telah tertutup baginya pintu untuk berdakwah kepada kaumnya untuk kembali ke
jalan Allah Swt.
Nabi Nuh menghadapkan baktinya kepada
Tuhan seraya berdoa, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara
orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan
mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hambamu dan mereka tidak
akan melahirkan selain anak yang berbuat Maksiat lagi sangat kafir. Ya Tuhanku,
ampunilah aku, ibu, dan bapakku, orang yang masuk rumahku dengan beriman, dan
semua orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan Dan janganlah engkau
tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan.”
Doa Nabi Nuh itu didengar oleh Allah, kemudian Allah memerintahkan
Nabi Nuh untuk mencari kayu, memotong, dan mengeringkannya. Proses ini memakan
waktu selama 100 tahun, kemudian Nabi Nuh mengetam kayu-kayu tersebut selama
100 tahun juga.
Allah Swt. telah memerintahkan Nabi
Nuh untuk membuat kapal dari kayu. Kayu-kayu itu panjangnya 80 hasta dan lebar
50 hasta. Adapun tinggi kapal itu adalah 30 hasta dengan tingkat tinggi dengan
setiap tingkat tingginya 10 hasta. Tingkat paling bawah ditempati hewan ternak
dan binatang buas, tingkat kedua atau bagian tengah ditempati manusia, dan
tingkat ketiga atau bagian yang paling atas ditempati burung-burung.
Pintu kapal berada di bagian
samping. Tutup pintu itu berada di bagian atas yang dapat menutupnya dengan
rapat. Pada bagian luar dan dalam kapal itu dilapisi dengan aspal. Kemudian
pada bagian ujung depan kapal dibuat meruncing untuk Membelah Air.
Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
“Mereka berkata, “Wahai Nuh,
sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami dan kamu telah memperpanjang
bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan
kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” (QS. Hud:
32)
Pada saat inilah, iblis datang dan
memasuki setiap hati kaum Nabi Nuh. Bagi hati yang di dalamnya terdapat Iman,
maka hati itu akan berlari dan menjauh dari godaan iblis laknatullah. Sedangkan
bagi hati yang di dalamnya tidak ada Iman, maka ia akan mengikuti bujuk rayu
iblis yang menyesatkan itu.
Ketika Nabi Nuh membuat perahu dan
kaum kafir yang telah terbujuk rayuan iblis itu melihatnya, mereka senantiasa
menghina. Mereka menganggap bahwa menaiki perahu tidak akan dapat menyelamatkan
dirinya dari siksa Tuhan. Mereka berkata demikian karena merasa bahwa siksaan
Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak akan pernah datang.
Termasuk di antara orang-orang
merugi itu adalah istri Nabi Nuh, dan seorang putranya yang bernama Qana’an.
Sebagai putra Nabi, seharusnya Qana’an menjadi orang pertama yang berkenan
menerima kebenaran, orang pertama yang dapat membedakan antara kesombongan dan
kejujuran, orang pertama yang menyatakan keimanan dan termasuk dalam golongan
orang yang berhiaskan kenikmatan sebuah keyakinan.
Ketika tungku pembakaran di rumah
Nabi Nuh telah mendidih, itu menjadi pertanda akan datangnya siksa yang
diberikan Allah sebagaimana dikatakan dalam riwayat-riwayat. Nabi Nuh
mengetahui bahwa azab Allah sudah tiba waktunya setelah perahu Nabi Nuh
selesai.
Janji Allah Subhanahu wa Ta'ala pun
tiba, air yang bergelombang datang dari segala arah dan menggulung-gulung
hingga menyapu apapun yang ada di hadapannya.
Nabi Nuh berkata kepada kaumnya, “Naiklah kalian semua ke dalam
kapal Dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuh. Sesungguhnya
Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dan ia berkata kepada putranya yang
tersayang, “Wahai anakku, naiklah ke kapal bersama kami dan janganlah kamu
bersama orang-orang yang kafir.”
Seperti itulah rasa cinta Nabi Nuh
kepada putranya meskipun sang putra membantah dan tidak mau beriman kepada
Tuhan. Namun Nabi Nuh tetap berharap bahwa putranya itu mau berubah. Nabi Nuh
melihat putranya, Qana’an pergi meninggalkannya.
Ia memanggil putranya itu saat
kapal mulai bergerak dari air yang semakin meninggi. Hal ini sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Dan bahtera itu berlayar
membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya,
sedangkan anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, ‘Hai anakku, naiklah
(ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang yang kafir.”
(QS. Hud 42)
Tetapi, semua ini tidak sedikit pun
menyentuh perasaan Qana’an yang telah buta karena kekufuran. Qana’an berlari
menuju gunung tertinggi yang berada di hadapannya, gunung besar dan menjulang
tinggi, sebuah keangkuhan tinggi yang hampir menembus Awan. Semua Inilah yang
ada dalam pandangan kedua mata Qana’an bun Nuh.
“Anaknya menjawab, ‘Aku akan
mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!’ Nuh
berkata, ‘Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah
(saja) yang Maha Penyayang.’ Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya,
maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (QS.
Hud: 43)
Kapal Nabi Nuh berlayar dan
akhirnya selamat dari banjir bandang yang menenggelamkan segala sesuatu. Tidak
ada yang nampak tersisa di permukaan banjir bandang itu selain hanya kapal
tersebut.
Seluruh permukaan bumi dilumat habis oleh air bah. Kapal Nabi Nuh
yang berlayar selama 150 hari dimulai dari tanggal 10 Rajab kemudian ia
berhenti bersama penumpangnya di Bukit Judi selama sebulan.
Mereka keluar dari kapal pada
tanggal 10 Muharram. Bukit Judi berada di sekitar kawasan Bakar, di negeri
Al-Jazirah. Bukit Judi ini bersambung dengan gunung Armenia. Dalam Kitab
Taurat, Bukit itu disebut dengan nama Ararath. Gunung ini sangat
patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga ia tidak ikut tenggelam.
Padahal semua gunung-gunung saat itu tenggelam.
Untuk memuliakan saat itu dan
sebagai rasa syukur kepada Allah, mereka berpuasa pada hari itu. Nabi Nuh
bersama orang-orang yang menyertainya turun di daratan bukit Judi. Kemudian
mereka mendirikan perkampungan yang dipenuhi oleh 80 orang.
Perkampungan itu dinamakan Kampung Ats-Tsamanina.
Hingga Pada suatu hari, tiba-tiba saja terjadi kekacauan dalam ucapan mereka
sehingga muncul 80 bahasa yang berbeda-beda, salah satu bahasa itu adalah
bahasa Arab. Sementara nabi Nuh berdialog dengan setiap golongan menggunakan
bahasa yang mereka pakai.
Di sinilah segala urusan menjadi
tenang karena orang sombong telah binasa. Dengan izin Allah, banjir bandang
yang menimpa mereka telah berakhir, setelah beratus-ratus tahun mereka dalam
lingkungan penuh kemungkaran dan kedurhakaan.
Setelah hidup tenang, Nabi Nuh
mengalami kesedihan yang mendalam atas nasib yang menimpa putranya, Qana’an. Ia
pun mengajukan pertanyaan terhadap Tuhannya.
Allah Swt. pun menjawab:
“Allah berfirman, ‘Wahai Nuh,
Sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).
Sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu, janganlah
kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya.
Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk
orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (QS. Hud: 46)
Setelah mendapatkan jawaban dari
Allah, hati Nabi Nuh menjadi tenang. Sementara itu, iblis bahagia bukan
kepalang karena ia telah berhasil menyesatkan sebagian besar kaum Nabi Nuh,
termasuk di dalamnya istri dan salah seorang putra Nabi Nuh. Dendam iblis
kepada Adam dan keturunannya akan terus berlanjut hingga hari kiamat, itulah
janji yang diucapkan iblis dan akan senantiasa dipegang teguh.
Demikianlah kisah dari Nabi Nuh
lengkap dan singkat. Semoga apa yang kamu sampaikan dapat menambah wawasan
sejarah Anda.
0 Komentar